Breaking News

Kupu-Kupu di Dalam Masjid

Kupu-Kupu di Dalam Masjid    Foto: Rendra Purnama/Republika


                             Kupu-Kupu itu singgah Rika berada di dalam masjid.

                                                                        ...

Seusai shalat Duha, Rika tak mau melangkahkan kakinya dari beranda masjid itu. Terlebih, saat sepasang matanya menatap seekor kupu-kupu bersayap kuning, bergaris merah halus, dengan taburan titik oval halus mirip tumpahan beras.

Kupu-kupu itu hinggap di salah satu pilar yang ada di beranda. Tepat pada aksen yang berupa lipatan hijau, seperti gelang berantai di bagian atas. Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya perlahan meski ia hanya diam.

Rika urung membuka tali mukenanya, ia malah semakin membetulkan posisi duduknya dengan bersandar ke tembok, seperti sengaja untuk berlama-lama menikmati tarian kupu-kupu itu. Dan entah apa yang kemudian ada dalam pikiran Rika saat itu, tiba-tiba ia meneteskan air mata, hingga membutir ke datar mukenanya. Ia melirik ke bagian dalam masjid, jarum merah dalam perut jam bundar masih lurus di angka sepuluh.

“Waktu Zhuhur masih lama,” gumamnya sambil kembali menyandarkan kepala ke tembok.

Si penjaga masjid yang berkumis tebal baru saja memulai tugasnya, menyapu lantai sambil sesekali melipat beberapa sajadah yang berserak di beranda. Hal yang paling tidak nyaman bagi Rika adalah ketika si penjaga masjid itu datang dan di masjid itu tak ada orang lain lagi selain mereka berdua. Ia khawatir terjadi fitnah.

Rika berdiri dan melangkah ke arah kupu-kupu itu. Si penjaga masjid terus menyapu hingga di bagian yang dekat kepada Rika. Sesekali, lelaki itu melirik seperti hendak mengatakan atau bertanya sesuatu. Rika merasakan itu sejak kedatangannya ke masjid itu empat hari yang lalu.

Sejak saat itu, si penjaga masjid selalu melirik Rika, seperti menaruh rasa curiga atau entahlah, yang pasti Rika merasa tak nyaman dengan tatapan lelaki itu. Ada kalanya, ia ingin bercakap dengan lelaki itu untuk menjelaskan kedatangannya ke masjid itu bahwa dirinya ingin shalat, mengaji, dan beriktikaf supaya lelaki itu tak menaruh rasa curiga. Tapi, keinginan untuk bercakap itu selalu kandas, bahkan kadang berbalik menjadi rasa setengah benci kepada lelaki berkumis tebal itu.

Rika menjinjitkan kaki, lalu menjulurkan tangannya ke arah kupu-kupu itu hingga bagian jarinya bersentuhan dengan bagian belakang sayap yang mengepak lirih. Ia melakukannya tak lebih sekadar iseng agar tak tampak sedang risi kepada lelaki itu.

Secara tak terduga, kupu-kupu itu ternyata menggeser tubuhnya perlahan, lalu bertengger di telapak tangan Rika. Rika tersenyum, menarik tangannya ke bawah, setara wajah, hingga kupu-kupu itu kian berkepak-kepak di depan matanya, seperti menari khusus untuk Rika. Bibir Rika tersenyum, tapi sepasang matanya merembes butiran dingin. Ia terisak. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. Matanya lekat terpaku pada sayap kupu-kupu itu.

Di antara sepasang sayap kupu-kupu yang berwarna kuning, bergaris merah halus, dengan taburan titik oval halus mirip tumpahan beras itu, mata Rika seperti menemukan sebuah pemandangan, berupa gang sunyi gedung bekas pertokoan yang diambung bau bir dan alkohol, diminati belasan kucing, disukai para pemabuk.

Di depan salah satu gedung itu, ia melihat sosok dirinya di masa lalu, sedang duduk di balai-balai, dengan rambut tergerai tanpa tali pengikat, wajah berpupur kosmetik, bibirnya dipoles warna lipstik, tentu dengan pakaian seminim dan seketat mungkin demi memperlihatkan keindahan tubuhnya kepada siapa pun yang datang. Lalu, bertransaksi sebelum akhirnya masuk ke kamar itu dengan seorang lelaki dan menguncinya dari dalam.

Ia pun teringat, peristiwa terburuk pada suatu subuh yang didera hujan, seorang lelaki bejat tak mau membayar tarif, padahal ia sudah menemaninya semalaman. Sudah begitu, ia menampar Rika hingga berdarah dan jatuh pingsan. Tak cukup dengan itu, si lelaki bejat membawa kabur perhiasan, uang, dan ponsel Rika.

“Maaf, Mbak. Sebaiknya Mbak pindah ke sana saja. Di sini mau saya bersihkan!” seketika suara penjaga masjid itu membuyarkan lamunan Rika.

“Oh, iya, Mas!” suaranya gugup, tangan kirinya menyeka air mata yang melumasi seluruh datar pipinya. Dan kupu-kupu di tangannya, seketika mengepakkan sayap dengan cepat, terbang melesat ke atas, tatap Rika tetap membuntuti arah terbang kupu-kupu itu yang tak seperti kupu-kupu pada umumnya, ia terus terbang ke atas, hingga lenyap seolah masuk ke rahim langit.

“Mohon maaf, Mas! Sejak tiga hari yang lalu saya selalu numpang di masjid ini,” bibir Rika akhirnya bisa mengucapkan kalimat yang telah lama terperam.

“Tidak usah minta maaf, Mbak. Masjid ini rumah Allah. Justru saya sangat bangga kepada orang-orang yang selalu ada di masjid ini. Seorang wanita ada di masjid sangatlah keren. Coba bayangkan, betapa hinanya jika wanita ada di tempat pelacuran,” lelaki itu menoleh kepada Rika, sejenak henti menyapu, tangkai sapunya ia peluk di dadanya.

Rika terkejut dengan perkataan lelaki yang ada di depannya. Serasa lelaki itu sengaja menyinggung Rika. Kata-katanya seperti melempar dirinya pada masa lalu yang hitam. Tapi, kemudian ia lekas menutupi keadaan dirinya dengan seulas senyum yang kaku. Lelaki itu pun membalas dengan sebentuk senyum, lalu lanjut menyapu. Rika mundur beberapa langkah, air matanya kembali menetes.

Bagi Rika, masjid itu sudah seperti rumahnya sendiri. Ia selalu ada di sana, betah dalam balutan mukena warna jingga, menunaikan shalat berjamaah, iktikaf, membaca Alquran atau bermain dengan kupu-kupu ajaib yang selalu datang setiap hari dan hinggap di salah satu pilar masjid itu. Rika meninggalkan masjid hanya pada malam hari seusai shalat Isya dan pada saat ingin makan di siang hari.

Hanya dengan cara tinggal di masjid itu, Rika merasa tali hidup masa lalunya yang kelam itu terputus. Ia merasakan kedamaian yang seperti bergulir dalam dadanya, terlebih ketika ia melihat kupu-kupu yang datang ke masjid itu setiap hari.

Jika ada orang mendekat selain Rika, kupu-kupu itu akan cepat melesat terbang ke udara. Tapi, jika Rika yang mendekatinya, ia akan pindah ke telapak tangannya, seolah kupu-kupu itu menemukan hunian yang nyaman di tubuh Rika.

Hanya satu hal yang membuat wanita ini waswas saat ada di masjid itu, yaitu ketika hanya tinggal berdua dengan lelaki penjaga masjid yang berkumis tebal itu. Meski lelaki itu pendiam dan terlihat dingin, Rika khawatir menyimpan watak singa dalam dadanya. Masa lalunya di tempat esek-esek membuat dirinya paham sifat banyak lelaki.

Sore itu, ketika gerimis halus menjilam halaman masjid, kupu-kupu itu menari-nari di telapak tangan Rika. Rika pun takjub menatap sayapnya yang indah, lalu seperti biasa, celah sepasang sayap itu menarik pikiran Rika ke sebuah lorong kenangan di masa lalunya. Hingga ingatannya berputar ke belasan tahun silam, ia pernah bertemu dengan seseorang di teras sebuah surau, orang itu mengusir Rika dengan kasar supaya tubuhnya tidak menyentuh lantai surau.

“Hai! Perempuan najis!”

“Hai! Calon penghuni neraka!”

“Tak ada ampuan bagi perempuan yang menjual tubuh sepertimu.”

“Pergi kau! Najis! Haram! Nereka!”

Akhirnya, Rika tertatih meninggalkan surau dengan tangis yang miris kala itu, hatinya seperti ditusuk-tusuk puluhan golok. Ia nyaris putus asa untuk bertobat. Dalam dadanya, tumbuh keinginan untuk sekalian melakukan dosa sepuas-puasnya jika Tuhan sudah tidak menerima tobatnya setelah mendengar perkataan dari orang itu.

Ingatannya kian tajam, kian menghunjam. Butiran air matanya pecah membedaki pipinya. Celah sepasang sayap kupu-kupu itu sungguh memutar ingatannya pada lorong silam yang teramat hitam.

“Maaf, Mbak. Mumpung hujan belum deras, di sini harus saya sapu,” suara lelaki penjaga masjid tiba-tiba terdengar di sampingnya, membuyarkan lamunannya. Rika lekas menyembunyikan tangisnya dengan dua kali gerakan menyeka air mata. Lelaki berkumis tebal itu hanya tersenyum, kemudian mengayunkan tangkai sapu dengan hati-hati, tak peduli tempias hujan membasahi sebagian tubuhnya. Beberapa saat kemudian ia malah nekad, turun ke halaman masjid, menyelamatkan sandal-sandal yang dihanyut air.

Rika menggeleng-gelengkan kepala melihat kebaikan lelaki itu. Kupu-kupu di telapak tangannya masih berkepak-kepak. Suara sisa isak tangisnya berpadu dengan suara hujan.

Jarum jam masih pukul merentang ke angka 9. Lelaki penjaga masjid itu terlihat khusyuk bershalat Duha sendirian. Pagi itu Rika semakin menaruh rasa tak nyaman kepada lelaki itu setelah sebelumnya ia berpapasan dan lelaki itu sudah mencukur kumisnya.

Lelaki itu tersenyum lembut, tapi Rika tak membalas senyum sedikit pun, seketika ada kobaran api dendam di dadanya. Setelah kumisnya dicukur, ternyata lelaki itu sama persis dengan lelaki bejat yang pernah menipu dan menyakitinya di tempat mesum beberapa tahun silam.

“Hmm, ternyata kau si durjana itu!” Rika geram, mengepal tangan, giginya rapat bergemeretak. Matanya menatap tajam, bagai lidah api siap menjangkau kayu kering. Tapi, sejenak Rika berpikir, bisa saja lekaki itu saudaranya atau hanya kebetulan mirip. Rika melepas kepalan tangannya.

Seketika kupu-kupu ajaib yang biasa bertengger di pilar pagi itu masuk ke dalam masjid, melintas di depan Rika. Beberapa kali Rika menjulurkan tangannya, tapi kupu-kupu itu menjauh dan hinggap di bagian atas peci lelaki yang sedang shalat itu.

Api amarah di dada Rika kembali berkobar saat melihat lelaki itu. Tangannya kembali mengepal kuat. Kali ini, ia meraih setangkai sapu, ia ingin memukul lelaki itu diam-diam dari belakang. Langkahnya diatur pelan tanpa suara.

“Ini kupu-kupumu, Mbak. Maaf barusan hinggap di peci saya saat shalat.”

Rika tak sadar, ternyata lelaki itu sudah selesai shalat. Ia berdiri dan balik menyodorkan kupu-kupu dengan jimpitan sepasang jarinya seraya tersenyum kepada Rika.

“Aku ingin membuang jauh-jauh kupu-kupu ini.”

Tangan Rika mengambil kupu-kupu itu dari jimpitan si lelaki. Lalu, dilepasnya begitu saja. Kupu-kupu itu mengepakkan sayapnya menuju langit-langit masjid, tapi sayap itu patah dengan sendirinya, terlepas dan berhambur halus di lantai. Rika dan lelaki itu seperti melihat masa lalunya yang kelam telah runtuh di tempat itu.

-- Gaptim, 18.5.19

TENTANG PENULIS

A WARIST ROVI, Lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media nasional dan lokal, antara lain: Kompas, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Indo Pos, Majalah FEMINA, Kedaulatan Rakyat , dll. Juara II Lomba Cipta Cerpen tingkat nasional ICLaw Green Pen Award 2019. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018).

Dikutip dari : republika.co.id/Red: Karta Raharja Ucu